MAKALAH
FIQIH
MAWARIS
Tentang : Metode
pembagian waris dengan ar-radd
Di
susun oleh :
Ahyadin
Semester
V (Lima)
“Makalah ini diajukan kepada dosen
pengampu
Sebagai salah satu syarat memperoleh
nilai tugas
mata kuliah fiqih mawaris”
Dosen
pengampu
Sri
wahyunti, M.E
FAKULTAS
SYARI’AH
PROGRAM
STUDI AKHWAL AL-SYAKHSIYAH
INSTITUT
AGAMA ISLAM (IAI) MUHAMMADIYAH
BIMA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA
PENGANTAR
Dengan mengucap alhamdulillah atas
kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik serta hidayah-Nya
kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah ini dengan
baik untuk memenuhi salah satu syarat dalam penyelesaian tugas Fiqih mawaris
pada Program Studi akhwal al-syakhsiyah. Ucapan terima kasih kami haturkan
kepada dosen pembimbing yang telah membantu kami dalam penulisan makalah ini
dengan baik.
Makalah ini kami susun untuk menambah
wawasan serta pengetahuan para pembaca tentang “metode pembagian waris dengan
ar-radd”. Kami mengharapkan agar makalah ini dapat membantu dalam hal
peningkatan kompetensi yang baik bagi para pembaca pada umumnya.
Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari masih banyak kekurangan baik dari segi susunan serta cara penulisan
makalah ini, karenanya saran dan kritik yang sifatnya membangun demi
kesempurnaan makalah ini sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini bisa bermanfaat
bagi para pembaca pada umumnya dan juga bermanfaat bagi penulis khususnya.
Bima,
26 Oktober 2018
Penyusun
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Radd
Radd berasal
dari kata “radda”
(رَدﱠ) “yaruddu”
(َﻳﺮُدﱡ)“raddan” (رَدﱠَا),
yang artinya kembali.[1]
Secara etimologi radd artinya “al-‘awd” (اﻟﻌَﻮْدُ) “ar-ruju”
(اﻟﺮُﺟُْﻮعُ) artinya kembali, dan “ash-sharf” (اﻟَﺼﱠﺮْفُ) artinya menghindarkan.[2]
Dan radd berarti juga dengan “arrapashu” (اﻟﺮﱠَﻓﺺُ), dan “al-Iadah” (اﻻِﻋَﺎدَةْ) artinya
mengembalikan.[3]
Sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an surah al-Ahzab ayat 25.
Artinya : “Dan Allah
menghalau (mengembalikan) orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh
kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah
menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan dan adalah Allah Maha Kuat
lagi Maha Perkasa.” (Q.S. al-Ahzab, 33:25)
Menurut Hasanain Muhammad Mahluf.,
radd secara terminologi adalah: “adanya kelebihan pada kadar bagian ahli waris
dan adanya kekurangan pada jumlah sahamnya.”[4]
Dan menurut Ahmal Kamil al-khuduri.,
radd adalah: “memberikan harta yang tersisa kepada ashabul furud, sesudah
diberikan bagian masing-masing ashabul furud dan tidak bersama dengan ahli
waris ashabah, dibagi sesuai dengan nisbat bagian mereka.”[5]
Menurut Sayid Sabiq., bahwa radd
adalah: “pengembalian apa yang tersisa dari bagian dzawil furudh nasabiyyah
kepada mereka sesuai dengan besar kecilnya bagian mereka bila tidak ada orang
lain yang berhak untuk menerimanya.”[6]
Menurut Hasan Ahmad Khotib., Radd
adalah: Adanya kekurangan jumlah jumlah saham dari pada asal masalah, dan
adanya kelebihan kadar bagian para ahli waris.[7]
Menurut Fathurrahman., radd adalah:
“penambahan pada bagian-bagian ahli waris dan pengurangan saham-sahamnya.”[8]
Dari pengertian diatas dapat dipahami
bahwa radd adalah suatu masalah kasus pewarisan yang jumlah sahamnya lebih
kecil daripada asal masalahnya. Dan dengan
sendirinya, terjadi penambahan kadar para ahli waris. Karena pada masalah radd
ini, ada penambahan kadar kepada para ahli waris. Masalah Radd ada karena tidak
ada ashabah dalam pembagian waris, maka sesudah dibagikan bagian masing- masing
ahli waris masih ada sisa, yaitu sisa kecil Hazairin menamakannya dengan
Dzawu-Iqarabat.[9]Dan Hasanain Muhammad Makhluf menamakannya dengan al-
Naqishah.[10]
Ar-radd artinya
kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu
:
tA$s%
y7Ï9ºs
$tB
$¨Zä.
Æ÷ö7tR
4
#£s?ö$$sù
#n?tã
$yJÏdÍ$rO#uä
$TÁ|Ás%
ÇÏÍÈ
Artinya : “Musa berkata:
"Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula.”
Menurut
istilah ar-radd adalah berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya
jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd
apabila pembilang lebih kecil daripada penyebut dan merupakan
kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya kurangnya yang akan dibagi,
sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan pembagian.[11]
B.
Pendapat Para Ulama tentang Radd
Tidak ada Nash yang khusus yang
terdapat dalam kitab ALLAh SWT. Atau dalam Sunnah Rasulullah saw tentang radd.
Karena itulah, para sahabat, tabi’in, dan para imam mazhab fiqih, berbeda
pendapat tentangnya. Para Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini pada
prinsipnya, ada dua pendapat yaitu radd itu tidak ada dan radd itu ada.[12]
a. Pendapat
Para Sahabat dan Tabiin
a. Ali
bin Abi Thalib dan Umar bin Khottab
Mereka berpendapat Pengembalian sisa
harta diserahkan kepada ashabul furudh, tidak boleh diberikan kepada suami atau
istri. Karena suami atau istri bukanlah kerabat nasab.[13]
Tidak boleh diserahkan ke baitul mal, karena nasab lebih utama dibandingkan
hubungan agama. Dzul al-furudh mengumpulkan dua sebab,
yaitu hubungan agama dan hubungan nasab, sementara kaum muslimin (baitul mal)
hanya mempunyai satu sebab saja yakni hubungan agama. Maka radd diserahkan
kepada ashabul furudh kecuali kepada suami atau istri.
Dalil yang dikemukakan
adalah Surah al-Anfaal ayat 75.
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada
yang bukan kerabat) di dalam Kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala sesuatu.” (Q.S. Al- Anfal,8:75)
Ayat ini menjelaskan bahwa suami atau
istri tidak termasuk pengertian umum
ayat ini. Suami atau istri dapat mewarisi karena sebab perkawinan, dan ini
terputus bila salah seorang dari mereka wafat. Karena itu, bagian warisan untuk
suami atau istri hanya apa yang ada dalam nash, dan tidak ada pengembalian
untuk mereka karena hal itu tidak ada dasarnya. Hubungan kekerabatan karena nasab
akan tetap kekal, walaupun ahli warisnya telah wafat. Oleh sebab itu, tidak ada
alasan untuk mencegah ash-habul furudh, yang memiliki ikatan kekerabatan dengan
simayyit, maka sisa harta sesudah pembagian waris, ash-habul furud lebih berhak
mendapatkan warisan daripada orang lain.[14]
1. Utsman
bin Affan
Apabila ada sisa harta sesudah
dibagikan kepada ashabul furudh dan tidak ada ashabah karena nasab dan sebab,
Pengembalian sisa harta diserahkan kepada seluruh ash-habul furudh, dengan
kadar bagian masing-masing tanpa terkecuali
(radd boleh diberikan kepada siapa saja tanpa ada pengecualian). bahwa
radd dapat diberikan kepada seluruh ahli waris dzul al furudh sekalipun kepada
suami istri menurut bagian mereka masing-masing.[15]
Dalil yang dikemukakan adalah bahwa suami
atau istri menanggung kekurangan pada bagian mereka ketika aul, maka mereka
juga wajib menerima tambahan ketika ada sisa lebih (radd). Alasan lainnya bahwa
dalam al-Qur’an telah ditetapkan bahwa suami atau istri adalah ahli waris dan
tidak ada yang melarang dalam menambahi sisa waris. Oleh sebab itu tiap-tiap
yag ditetapkan oleh Nash menyalahi qiyas maka wajib mendahulukan apa yang
ditetapkan oleh nash.[16]
Radd tidak boleh diberikan kepada enam
ashabul furudh yaitu suami, istri, nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki,
saudara perempuan sebapak, dan saudara-saudara seibu. Dalil yang dikemukakan
adalah mewarisi sisa setelah ash- habul furudh, dengan jalan pengembalian, sama
hukumnya dengan jalan ashabah. Oleh karena itu dahulukanlah yang lebih dekat
kemudian yang agak dekat. Tidak tetap radd itu bagi suami adan istri karena
salah satu keduanya tidak ada sipat qorabat. Dan tidak tetap mendapatkan radd
cucu perempuan dari anak laki-laki bersama anak perempuan sulbi, saudara
perempuan sebapak bersama saudara perempuan sekandung, serta saudara seibu
bersama ibu dan nenek, karena salah satu dari yang tiga ini ada orang yang
lebih dekat dengan si mayyit daripada mereka.[17]
3. Pendapat
Zaid bin Tsabit, Urwah ibnu Zubeir dan Sulaiman ibnu Yasar.
Tidak ada radd dalam waris mewarisi
dan harta yang tersisa setelah bagian ash-habul furud dibagikan, tidak bisa
dikembalikan kepada mereka, tetapi harus diserahkan ke baitul mal. Dalil yang
dikemukakan adalah bahwa ALLAH SWT telah menjelaskan bagian ash-habul furudh
dalam masalah warisan. Oleh karena itu, tidak boleh ditambahkan dengan sisa
harta, karena perbuatan itu melampaui batas yang ditentukan ALLAh SWT.[18]
Sebagaimana di dalam al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 13-14
Artinya: “(Hukum-hukum tersebut) itu
adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan
Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya
sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang
besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar
ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang
ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S. An-Nisa’
4:13-14)
Ayat ini turun sesudah menerangkan bagian
ashabul-furudh, artinya membatasi bagian yang telah ditentukan oleh ALLAH SWT.
Maka seluruh sisa harta itu diserahkan kepada baitul mal.[19]
4. Abdullah
ibnu Abbas
Sisa harta diberikan kepada ash-habul
furudh selain suami, istri dan juga selain nenek, jika ia bersama ashabul
furudh yang memiliki hubungan kekerabatan karena nasab. Jika tidak ada, ia
boleh medapatkan pengembalian. Dalil yang dikemukakan adalah Warisan nenek
merupakan makanan untuknya. Oleh karena itu nenek
tidak boleh mendapatkan bagian lebih dari apa yang telah ditetapkan, kecuali
jika tidak ada ashabul furudh, yang memiliki hubungan karena nasab.[20]
b. Pendapat
para Imam Mazhab
1. Imam
Syafi’i dan Imam Maliki
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Maliki
Sisa harta yang tersisa setelah bagian ashabul furudh dibagikan (radd), tidak
bisa dikembalikan kepada ashabul furud, tetapi harus diserahkan ke baitul mal.[21]Demikian
juga tidak boleh diserahkan kepada dzawil arham, baik keadaan kas baitul mal
teratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak. Sebab hak pusaka terhadap
kelebihan tersebut adalah ditangan orang-orang muslimin pada umumnya.
Orang-orang muslimin pada keadaan bagaimanapun tidak boleh dianggap sepi.
Biarpun nashir tersebut tidak melaksanakan amanat orang-orang muslimin, tetapi
hal itu tidak dapat menggugurkan hak mereka.[22]
Oleh karena itu Kelebihan harta setelah dibagi-bagikan kepada ahli waris
dzul al-furudh tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada
jalan untuk memilikinya dan harus diserahkan ke baitul mal.
Dalil yang dikemukakan
bahwa Allah SWT menjelaskan bagian tiap-tiap ahli waris, apabila kita
memberikan radd itu kepada ashabul furudh berarati kita sudah memberikan yang
bukan haknya. Dalam alqur’an surah an-Nisa’ ayat 13-14.
Artinya: “(Hukum-hukum
tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada
Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir
didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah
kemenangan yang besar. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan
melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api
neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (Q.S.
An-Nisa’ 4:13-14)
Ayat ini menjelaskan bahwa tidak boleh
melampaui batas yang telah disyariatkan oleh ALLAH SWT, yang melampaui batas
akan mendapatkan sanksi yang keras. Karena bahwasanya ALLAH SWT telah
menentukan bagian para dzawil furudh secar qoth’iy besar kecilnya secar pasti,
tidak perlu ditambah atau dikurangi. Menambahi fardh mereka berarti membuat
ketentuan yang melampaui batas ketentuan syariat. Orang-orang yang melampaui
batas ketentuan syariat, oleh tuhan diultimatum akan diabadikan dineraka.
Imam
Syafi’i berkata: apa makna radd? Apakah itu merupakan sesuatu yang diperoleh
melalui istihsan (anggapan baik) walaupun demikian, apakah kita mensyariatkan
sesuatu yang tidak disyariatkan Allah? Kalau boleh, kita bisa saja memberikan
warisan kepada tetangga atau nasab yang jauh. Kalau tidak boleh, mengapa ada
yang membolehkan radd? [23]
Berdasarkan dalil ini Imam Syafi’ dan Imam Maliki berpendapat bahwa radd itu
harus diberikan kepada baitul mal, karena baitul mal merupakan ahli waris yang
tidak mempunyai ahli waris. Demikian Urwah dan Imam syafii mengemukan hal yang
sama dengan Zaid bin Tasbit.[24]
Kondisi dan situasi
yang dialami oleh fuqaha syafi’iyyah dikemudian hari berlainan dengan suasana
dan situasi yang dialami Imam Syafi’i. Sehingga mendorong pengikut-pengikutnya
seperti Imam Ibnu Saraqah, al-Qadhi al-Husain, al-Mutawally, al- Mazani dan
Ibnu Suraij, mempatwakan bahwa sisa harta itu
tidak boleh diserahkan kecuali kepada ash-habul furudh secara nasab dan
tidak boleh diberikan kepada suami atau istri, sama ada baitul mal terorganisir
dengan adil atau tidak terurus. Pendapat Imam Nawawi, Imam al-Mawardi apabila
baitul mal terorganisir dengan adil maka tidak boleh diberikan kepada ashabul
furud dan jika baitul mal
itu tidak terorganisir dengan baik diberikan kepada ashabul furud kecuali suami
atau istri.[25]
Pendapat mazhab Maliki generasi
berikutnya bahwa apabila baitul mal
tidak terorganisir dengan adil ketika ada kelebihan sisa harta diberikanlah
kepada ashabul furudh sesuai dengan nisbah bagian mereka kecuali kepada suami
atau istri.[26]
2. Imam
Ahmad bin Hanbal dan Imam Abu Hanifah
Mereka berpendapat bahwa sisa harta
sesudah dibagikan kepada ashabul furudh (radd) diberikan kepada ashabul furudh
senasab, kecuali kepada suami atau istri, baik baitul mal terorganisir secara
adil atau tidak, wajib diberikan kepada ash-habul furudh.[27]
Penyingkiran suami dan istri dari menerima radd itu ialah karena radd itu
adalah hak para ahli waris yang mempunyai hubungan darah dengan simati, sedang
sebagaimana diketahui bahwa hak pusaka suami dan istri tersebut bukan karena
adanya sebab perhubungan darah, tetapi karena adanya sebab perkawinan.[28]
Dalil yang dikemukakan adalah surah al-Anfal ayat 75
Artinya: “Dan
orang-orang yang beriman sesudah itu Kemudian berhijrah serta berjihad
bersamamu Maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). orang-orang yang
mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat).” (Q.S. Al-Anfal, 8:75)
Ayat ini mempunyai makna umum, yaitu
setiap orang yang terikat dengan hubungan rahim lebih utama untuk menerima
warisan daripada yang lain. Dengan demikian, mereka berhak mengambil sisa dari
harta waris. Ayat ini juga tidak bertentangan dengan ayat waris-mewarisi, sebab
bagian yang telah ditetapkan sudah diberikan kepada ash-habul furudh. Karena
itu mengambil sisa bukanlah menambah bagian yang telah ditetapkan ALLAH, namun
karena ada sebab yang lain, seperti orang yang mewarisi karena sebab
kekerabatan melalui dua jalur.[29]
Selain berpegang pada
firman Allah tersebut, mereka juga mendasarkan pendapatnya pada hadits yang
disampaikan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash.
Artinya“Bercerita
kepada kami Hamidi bercerita kepada kami Supyan bercerita kepada kami Zuhri,
berkata ia, bercerita kepada kami Amar bin Sa’ad bin Abi Waqos dari ayahnya berkata
ia, Pada saat haji Wada’ Rasulullah saw, mengunjungiku yang sedang sakit keras.
Aku bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulllah, aku adalah orang yang memiliki harta
yang banyak dan tidak ada yang mewarisi hartaku, kecuali anak perempuanku satu-
satunya. Jika demikian, bolehkah aku menyedekahkan dua pertiga (2/3)dari
hartaku? Nabi saw menjawab, tidak boleh. Aku bertanya lagi Bagaimana jika aku
sedekahkan separuh hartaku, ya Rasulallah? Nabi saw. Menjawab, Juga tidak
boleh, Aku kembali bertanya, kalau sepertiga (1/3) mendengar itu, nabi saw.
Bersabda ‘kalau sepertiga (1/30 boleh, dan itupun sudah banyak. Sebab,
seandainya kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik
daripada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan papa, meminta- minta kepada
manusia, .…(H.R. Bukhari)[30]
Bentuk argumentasi dari hadis diatas
adalah Rasulallah SAW, tidak melarang sa’ad yang membatasi warisannya hanya
untuk anak perempuannya, namun beliau melarangnya berlebihan dalam memberi
sedekah, sehingga anaknya menjadi kaya dengan warisan. Jelasnya, anak perempuan
Sa’ad tidak mewarisi seluruh harta, kecuali jika ia
mengambil bagian tetap yang setengahnya dan sisa menjadi pengembalian.
3. Syi’ah
Zaidiyah dan Imamiyyah
Mereka berpendapat kelebihan harta
diserahkan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan kadar masing-masing. Sedang
di kalangan Syi’ah Imamiyah juga terdapat perbedaan tentang memberikan sisa
harta kepada suami isteri ketika ahli waris yang lain tidak ada. Pertama, sisa
harta diberikan kepada suami tidak kepada isteri. Pandangan ini yang lebih
mashur di kalangan mazhab Imamiyah dan yang paling banyak diamalkan. Kedua,
sisa harta diserahkan kepada suami atau isteri secara mutlak dan dalam semua
keadaan. Ketiga, sisa harta diberikan kepada suami atau isteri manakala tidak
ada imam yang adil. Kalau ada imam yang adil maka sisa harta diserahkan kepada
suami.[31]
c. Radd
Dalam KHI dan Fiqh Klasik
1. Radd
Dalam KHI
Dalam masalah radd ini, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia menyatakan bahwa apabila terjadi kelebihan harta, maka
kelebihan tersebut dikembalikan kepada seluruh ahli waris, tanpa terkecuali kepada suami atau
istri.[32]
Hal ini sebagaimana termaktub dalam pasal 193 KHI.[33]
“Apabila dalam pembagian harta warisan diantara para ahli waris dzawil furud
menunjukkan pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada
ahli waris ashabah, maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara
radd, yaitu sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi
secara berimbang diantara mereka”
Sikap tegas yang diambil
oleh Kompilasi Hukum Islam yang hanya memberikan satu pilihan yaitu sisa harta
yang sesudah dibagikan kepada ashabul furudh (radd) boleh diberikan kepada
semua ahli waris. Dalam Kompilasi Hukum Islam Radd itu diserahkan kepada
seluruh ashabul furudh, termasuk kepada suami atau istri.
2. Radd
Dalam Fiqh Klasik
Masalah radd timbul karena adanya sisa
harta sesudah dibagikan kepada dzawil furudh, sedangkan ahli waris yang berhak
atas sisa harta (ashabah) tidak ada. Mengenai radd para Ulama berbeda pendapat
tentang pengembailannya apakah diserahkan kepada ashabul furudh atau kepada
baitul mal (radd itu ada atau tidak ada). Terus para Ulama juga berbeda
pendapat tentang pengembalian kepada ashabul furud siapa saja yang mendapatkan
radd.
Mengenai perbedaan ini para Ulama yang
mengatakan radd itu ada (diserahkan kepada ashabul furudh) adalah Ali bin Abi
Thalib, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin
Abbas, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Abu Hanifah, Imam ibnu Saraqah, al-Qadhi
al-Husain, al-Mutawally, al-Mazani dan Ibnu Suraij.
Para Ulama yang mengatakan radd itu
tidak ada (diserahkan kepada baitul mal) adalah Zaid bin Tzabit, Urwah ibnu
Zubeir, Sulaiman ibnu Yasar, Imam Syafi’i, dan Imam Maliki.
Para ulama yang mengatakan radd itu ada
atau diserahkan kepada ashabul furudh masih berbeda pendapat tentang siapa saja
ashabul furudh yang mendapatkan radd, menurut kebanyakan para ulama yang
berpendapat radd itu diserahkan kepada ashabul furudh bahwa suami atau istri
tidak boleh mendapatkan radd, Alasan pembatasan ini adalah oleh karena yang
menjadi alasan adanya radd tersebut adalah hubungan rahim, sedangkan suami atau
istri kewarisannya disebabkan hukum dan bukan karena hubungan rahim.
hanya Usman bin Affan yang membolehkan
suami atau istri mendapatkan radd. Alasan yang dikemukakan adalah mereka
menerima hak yang sama dalam pengurangan waktu terjadi ‘aul tentu tidak ada
alasan untuk membedakannya pada waktu menerima kelebihan hak.[34]
Semua sisa harta yang ada dikembailkan kepada ahli waris dzawil furudh yang ada
berdasarkan kadar furudh masing-masing. Kalau furudnya
1/3 dari harta maka radd yang diterimanya adalah 1/3 dari sisa harta itu dan
begitu seterusnya.[35]
C.
Syarat-syarat
terjadinya ar-radd
Ar-radd tidak akan terjadi dalam
suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut :[36]
1. Adanya ashhabulfurudh
2. Tidak
adanya ashabah
3. Ada
sisa harta waris
Adapun Ayah dan Kakek, meskipun
keduanya termasuk ahli waris ashhâblal-furûdl dalam beberapa keadaan
tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima radd, karena
menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah atau
kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau
akan menjadi „ashâbah dan berhak mengambil seluruh sisa
harta warisan.
Sedangkan alasan suami atau istri
tidak berhak mendapatkan sisa harta,karena kekerabatan mereka bukan didasarkan
pada hubungan nasab, melainkanhubungan sababiyah, yakni semata-mata karena
sebab perkawinan yang dapatterputus karena kematian. Sejalan dengan itu
Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni dengan
memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena
adanya hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannyadisebabkan hukum
dan bukan karena hubungan rahim.[37]
Ada dua ulama berpendapat tentang radd
yaitu kelompok pertama yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul
furud mengambil bagiannya dan tidak ada ashabah maka sisa harta diberikan
kepada Baitul mal. Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan
kepada ashabul furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-bagian
mereka.
Ahli waris yang berhak
mendapat ar-radd yaitu semua ashhabulfurudh kecuali suami
dan istri. Suami dan istri tidak berhak karena kekerabatan keduanya bukan
karena nasab tetapi karena adanya ikatan tali
pernikahan. Ashhabulfurudh yang berhak
menerima ar-radd hanya delapan orang yaitu anak perempuan, cucu
perempuan keturunan anak laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara
perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan
seibu, dan saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan bagaimana pun, bila dalam
pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau kakek tidak mungkin
ada ar-radd karena keduanya akan menerima waris
sebagai ashhabah.[38]
D.
Macam-Macam
Ar-Radd
Ar-radd mempunyai
empat macam yang mempunyai cara atau hukum masing-masing yaitu :
1.
Adanya pemilik
bagian yang sama, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta
peninggalan dapat langsung dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris berdasarkan
jumlah mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat
diselesaikan dengan cara yang mudah dalam tempo yang singkat.
Semisal,
seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok
masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai
fardh adalah dua per tiga (2/3), dan sisanya mereka terima secara ar-radd.
Karena itu pembagian hak masing-masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka
merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
2.
Adanya pemilik bagian
yang berbeda, tanpa suami atau istri.
Dalam
kondisi seperti ini, harta dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli waris,
bukan didasarkan pada jumlah mereka. Semisal, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan seorang cucu perempuan dari
anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah empat (4) berdasarkan jumlah
bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah atau
diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.
3.
Adanya pemilik
bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.
Dalam
keadaan seperti itu, sesuai kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka penyebut
dari bagian orang yang tidak menerima radd. Sesudah dibagikan kepada orang
tersebut, sisanya baru dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan jumlah
mereka.
Semisal,
seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Makasuami
mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan kepada anak
secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya
dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian berarti satu, dan
sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara
rata. Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari yang tidak
menerima radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain
dianggap ashabah (sisa). Kemudian jumlah penerimaradd dikali
dengan asal masalah.
4.
Adanya pemilik
bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.
Kaidah
pemecahannya dari masalah ini adalah dengan menetapkan
menjadi dua masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya
tanpa ada suami/istri, sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli warisnya ada
suami/istri. Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian kedua asal masalah
dibandingkan dengan salah satu dari tiga perbandingan yaitu tamaatsul
(kemiripan), tawaafuq (sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Ilustrasi
pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan
ar-radd menjadi dari tiga (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek
seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi
kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya dari empat, yaitu
diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri.
Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni
tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi
tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua
saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti
tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat
bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian.
Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya
tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi
masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
E.
Ahli Waris yang
Berhak Mendapat ar-Radd
Ar-radd dapat terjadi dan melibatkan
semua ashhabul furudh, kecuali suami dan istri. Adapun ashhabul furudh yang
dapat menerima ar-radd hanya ada delapan orang, yakni:
1. Anak
perempuan
2. Cucu
perempuan keturunan anak laki-laki
3. Saudara
perempuan sekandung
4. Saudara
perempuan seayah
5. Ibu
kandung
6. Nenek
sahih (ibu dari bapak)
7. Saudara
perempuan seibu
8. Saudara
laki-laki seibu
Adapun mengenai ayah dan kakek,
sekalipun keduanya termasuk ashhabul furudh dalam beberapa keadaan tertentu,
mereka tidak bisa mendapatkan ar-radd. Sebab dalam keadaan bagaimanapun, bila
dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya, maka tidak mungkin ada
ar-radd, karena keduanya akan menerima waris sebagai ashabah.
F.
Ahli Waris yang
Tidak Mendapat ar-Radd
Adapun ahli waris dari ashhabul furudh
yang tidak bisa mendapatkan ar-radd hanyalah suami dan istri. Hal ini
disebabkan kekerabatan keduanya bukanlah karena nasab, akan tetapi karena
kekerabatan sababiyah (karena sebab), yaitu adanya ikatan tali pernikahan. Dan
kekerabatan ini akan putus karena kematian, maka dari itu mereka (suami dan
istri) tidak berhak mendapatkan ar-radd. Mereka hanya mendapat bagian sesuai
bagian yang menjadi hak masing-masing. Maka apabila dalam suatu keadaan
pembagian waris terdapat kelebihan atau sisa dari harta waris, suami atau istri
tidak mendapatkan bagian sebagai tambahan.
G.
Metode pembagian
waris dengan radd
contoh penyelesaian radd. Seseorang
meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari : anak perempuan dan ibu. Harta
warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian masing-masing :
1) Jika
tidak ditempuh dengan cara radd :
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
6
|
Rp.
12.000.000,-
|
|||
Anak
Pr 1/2.
|
3
|
3
/6 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp.
6.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
1
/6 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp.
2.000.000,-
|
||
1
|
Jumlah
|
Rp.
8.000.000,-
|
Terdapat sisa
harta sebesar Rp. 4.000.000,-
2) Jika
ditempuh dengan cara radd
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
6
menjadi 4
|
Rp.
12.000.000,-
|
|||
Anak
Pr 1/2.
|
3
|
3
/4 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp.
9.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
1
|
1
/4 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp.
3.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp.
12.000.000,-
|
H.
Persamaan dan
Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Aul dan Radd
Memperhatikan dari kedua pendapat
diatas, adapun persamaan mengenai aul yaitu ketika angka pembilang
lebih besar dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan
angka pembilang. Sedangkan persamaan radd yaitu tentang ahli waris
yang berhak mendapatkan sisa harta dalam
masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hâb
al-furûdl, yaitu : anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak
laki-laki, saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung,
nenek sahih (ibu dari bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki
seibu.
Dalam masalah aul tidak ada
perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam
kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas
berhak mendapat radd.
1. Hukum
Keadaan Pertama
Apabila dalam suatu keadaan ahli
warisnya hanya terdiri dari ashhabul furudh dengan bagian yang sama, misalnya,
semuanya hanya berhak mendapat bagian setengah, atau seperempat, dan
seterusnya, dimana dalam keadaan itu tidak terdapat suami atau istri, maka cara
pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris (total orangnya).
Contoh
1
Seseorang
wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka masing-masing dari
mereka mendapat 1/3 bagian. Pembaginya adalah tiga, sesuai jumlah ahli waris.
Sebab, bagian mereka yang sesuai fardh adalah 2/3 dibagi secara rata, dan
sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing
sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris yang mendapatkan
bagian yang sama.
Contoh
2
Seseorang
wafat dan hanya meninggalkan sepuluh saudara perempuan sekandung, maka
masing-masing dari mereka mendapat 1/10 bagian. Hal ini karena bagian mereka
sama secara fardh, yakni 2/3 dibagi secara rata. Maka pembaginya adalah 10,
disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya adalah 10.
Contoh
3
Seseorang
wafat dan meningalkan seorang nenek dan saudara perempuan seibu. Maka
masing-masing dari mereka mendapat 1/2 bagian. Hal ini karena bagian mereka
sama secara fardh, yakni nenek 1/6 dan saudara perempuan seibu 1/6. Maka
pembaginya adalah dua, disebabkan bagiannya sama, dan karena jumlah orangnya
hanya dua.
2.
Hukum Keadaan
Kedua
Apabila dalam suatu keadaan terdapat
bagian ashhabul furudh yang beragam, dimana di sana tidak ada salah satu dari
suami atau istri, maka nilai pembagi diambil dari nilai pembilangnya, bukan
dihitung dari jumlah ahli waris (per kepala).
Contoh
1
Sebagai
misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara
laki-laki seibu. Maka pembagiannya, bagi ibu 1/6, untuk kedua saudara laki-laki
seibu 1/3. Perhatikan perhitungannya dibawah ini:
Perhatikan
nilai 3/6 diatas, ia kurang dari satu. Maka pembagi diturunkan dari 6 menjadi
3. Maka bagian ibu adalah 1/3 dan dua orang saudara laki-laki seibu 2/3.
Contoh
2
Seseorang
wafat meninggalkan seorang anak perempuan serta seorang cucu perempuan
keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya, bagi seorang anak perempuan 1/2,
untuk seorang cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6. Perhatikan
perhitungannya dibawah ini.
Maka
pembaginya dari 4, karena jumlah pembilangnya adalah 4. Dengan demikian bagian
seorang anak perempuan adalah 3/4 dan seorang cucu perempuan keturunan anak
laki-laki 1/4.
3.
Hukum keadaan
Ketiga
Apabila para ahli waris semuanya dari
ashhabul furudh yang mempunyai bagian yang sama, disertai salah satu dari suami
atau istri, maka kaidah yang berlaku ialah kita jadikan pembaginya ashhabul
furudh yang tidak dapat ditambah (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan
kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
Contoh
1
Seseorang
wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan 1/4
bagian, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai
jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli
waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai berikut:
- Suami:
2/8
- Anak
perempuan masing-masing mendapatkan: 3/8
Contoh
2
Seseorang
wafat dan meninggalkan seorang istri, dua orang saudara laki-laki seibu, serta
seorang saudara perempuan seibu. Maka istri mendapatkan 1/4 bagian, dan sisanya
3/4 dibagikan kepada dua orang saudara laki-laki seibu dan seorang saudara
perempuan seibu secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini tidak
memerlukan pentashihan, sehingga masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya
secara pas, yakni sebagai berikut:
- Istri:
1/4
- Saudara
seibu masing-masing mendapatkan: 1/3
Contoh
3
Seseorang
wafat dan meninggalkan seorang istri, serta lima orang anak perempuan. Maka
istri mendapatkan 1/8 bagian, berarti mendapat satu bagian, sedangkan sisanya
7/8 merupakan bagian kelima anak perempuan dan dibagi secara merata di antara
mereka, yakni sesuai jumlah kepala. Kasus ini memerlukan pentashihan, sehingga
masing-masing ahli waris mendapatkan bagiannya secara pas, yakni sebagai
berikut:
1.
Istri: 5/40
2.
Anak perempuan
masing-masing mendapatkan: 7/40
4. Hukum keadaan Keempat
Apabila dalam suatu keadaan terdapat
ashhabul furudh yang bagiannya berbeda-beda, dan di dalamnya terdapat pula
suami atau istri, maka yang harus diberi terlebih dahulu adalah suami atau
istri, kemudian sisanya diberikan kepada ashhabul furudh lainnya menurut
bagiannya masing-masing.
Contoh
1
Seseorang
wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu.
Maka istri mendapatkan 1/4, dan sisanya 3/4 dibagikan kepada nenek dan dua
orang saudara perempuan seibu menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara
mencari bagiannya sebagai berikut:
Nenek
+ Saudara Perempuan Seibu:
Pembagi
diatas di radd kan dari 6 menjadi 3, sehingga bagian nenek adalah 1/3 dan dua
orang saudara perempuan seibu 2/3. Pembagian akhir:
- Nenek
= 1/3 x 3/4 = 3/12. Nilai 3/4 ini diambil dari sisa bagian setelah diberikan
kepada istri.
- Dua
orang saudara perempuan seibu = 2/3 x 3/4 = 6/12, sehingga masing-masing
saudara perempuan seibu mendapatkan 3/12.
- Istri
= 1/4 x 3/3 = 3/12. Nilai 3/3 ini diambil dari pembagi yang baru yang telah di
radd kan.
Contoh
2
Seseorang
wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempuan, dan ibu. Bagian istri
adalah 1/8, dan sisanya 7/8 diberikan kepada dua orang anak perempuan dan ibu
menurut bagiannya masing-masing. Perhatikan cara mencari bagiannya sebagai
berikut:
Anak
Perempuan + Ibu:
Pembagi
diatas di radd kan dari 6 menjadi 4, sehingga bagian dua orang anak perempuan
adalah 3/4 dan ibu 1/4. Bagian 2 orang anak perempuan adalah 3/4, karena itu
harus ditashih, sehingga bagiannya menjadi 3/4 x 2/2 = 6/8. Dengan demikian
bagian ibu pun menjadi 1/4 x 2/2 = 2/8. Bagian istri menjadi 1/8 x 2/2 = 2/16.
Pembagian akhir:
1.
Dua orang anak
perempuan = 6/8 x 7/8 = 42/64, sehingga masing-masing anak perempuan
mendapatkan 21/64.
2.
Ibu = 2/8 x 7/8
= 14/64.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari seluruh pembahasan yang dikemukakan di atas, penulis akan
mengemukakan beberapa kesimpulan.
1.
Perbedaan antara
Fiqh Klasik dengan Kompilasi Hukum Islam tentang konsep radd adalah: Menurut
Imam Syafi’i dan Imam Malik sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris
(radd) wajib diberikan kepada baitul mal. Sedangkan Imam Ahmad bin Hanbal, Imam
Abu Hanifah, pengikut mazhab syafi’i dan Maliki, seperti Imam Ibnu suraqah,
al-Qadhi al-Husain, al-Mazani, Ibnu Suraij, Imam al-Mawardi dan Imam an-Nawawi,
berpendapat bahwa: radd itu diberikan kepada ahli waris ash-habu al-Furud
kecuali kepada suami atau istri Alasan pengecualian ini dikarenakan keduanya bukanlah
ahli waris nasabiyyah, Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam radd itu
diberikan kepada semua ahli waris termasuk kepada suami atau istri. Adapun
persamannya adalah: persamaan pendapat antara KHI dengan Utsman bin Affan
tentang pemberian radd keseluruh ashabu al-Furudh termasuk kepada suami atau
istri.
2.
Pemberian radd
kepada suami atau istri dalam Kompilasi Hukum Islam dengan pertimbangan
ketentuan nilai-nilai hukum adat, maslah al-Mursalah, pertimbangan maqosidu
al-Syariah yang sesuai dengan pertimbangan sosio-kultur masyarakat, dan
mengikuti pendapat Utsman bin Affan. Penetapan ini sebagai misi unifikasi
hukum, untuk membentuk kepastian hukum di Indonesia.
3.
Penerimaan radd
bagi seluruh ashabu al-Furudh menurut Kompilasi Hukum Islam sesuai dengan proporsi
bagian yang diterimanya. Sedangkan menurut Fiqh Klasik sesuai dengan pendapat
para Ulama bahwa sesuai dengan proporsi masing-masing.
4.
Perkembangan
sosio-kultur masyarakat Indonesia sekarang ini, suami atau istri sangan rentan
terhadap ahli waris yang lain, ketika salah satu dari keduanya meninggal.
Karena pada hakikatnya, harta waris hasil dari usaha berdua, maka ketika ada
pembagian waris, suami atau istri kadang tidak diperdulikan oleh ahli waris
yang lain. Sebaiknya pemberian radd diberikan seluruhnya kepada suami atau
istri, dengan pertimbangan maslahah al- Mursalah dan maqosidu al-Syariah,
karena radd bukanlah hukum qoth’i, artinya radd bisa berubah sesuai dengan
perubahan masa, keadaan, adat dan niyat selama hukum itu tidak qoth’i.
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang
dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya
membangun demi perbaikan makalah berikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Syarifuddin, Amir. 2008. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta:
Kencana
Abdurrahman. Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia. ( Jakarta: CV.Akademika Pressindo, 2004),
hlm. 160
Ash-Shabani, Muhammmad
Ali. 1995. Pembagian Waris Menurut Islam.Jakarta : Gema Insani
Press
Lubis, Suhrawardi K.
dan Komis Simanjutak. 1995. Hukum Waris Islam.Jakarta : Sinar
Grafika
Rofiq,
Ahmad, Fiqh Mawaris, cet IV (Jakarta : Raja Grafindo persada, 2001)
jasa makalah. makalah pembagian
( aul dan radd )http://www.rumahpintarr.com/2016/11/makalah-pembagian-aul-dan-radd.html
santri21. 2015 .makalah fiqh mawaris
tentang ‘aul, radd dan wasiat wajibah (SANTRI21http://fatchurahmanali.blogspot.com/2016/05/makalah-fiqh-mawaris-tentang-aul-radd.html
[1] Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus
arab-Indonesia (Surabaya: Pusat Progressif, 1997) Cet ke-14, hal, 486. Lihat
juga . Abul Yazid Muhammad Abul Azmi, Maqosidu al- Miraz Fi Douni Nususi
al-Syariati Waqonuni al-Mawaris, (Mesir, Hukmu Attabi’i Mahfuzatul Lilmuallif,
1999) hal.84.
[2]
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris
Fil-Fiqh Al-Islami (Mesir: Arrisalah Al-Dauliyyah, 2000) Terjemah H. Addys
Aldizar dan Fathurrahman. Penulis (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004)
hal. 321.
[3]
Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah (Ttp, Lajnat Atta’rif al-
Islamiyyah,1966) hal. 54.
[4] Hasanain Muhammad Makhluf, al-Mawaris Fi
al-Syariatil al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby, 1958) hal. 138.
[5]
Ahmad Kamil al-Hudhuri, al-Mawaris al-Islamiyyah hal. 55.
[6] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Ttp: Dar
al-Tsaqafah al-Islamiyah, t.th.), jilid
III, h. 306
[7] Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqhul al-Muqaron,
(Kairo: Darut at-Taklif. 1957) hal. 336.
[8] Fathurrahman, Ilmu Waris (Bandung: Al-Maarif,
1975) Cet Ke-4, hal. 423
[9] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut
Qur’an dan Hadis, (Jakarta: Tritamas, 1964) Cet ke-3. hal.45.
[10] Suparman
Usman dan Yusuf Somawinata,
Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
(Jakarta:
Gaya Media Pratama, 2002) Cet ke-2. Hal. 119.
[11]
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris
Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hlm. 160
[12]
Fathurrahman, Ilmu Waris, hal. 423.
[13]Muhammad
Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah Ala
al-Mazahibul Arbaah, (Berut: Maktabah al-Azriyah, 1996) hal 172
[14]
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris
Fil-Fiqh Al-Islam, hal. 322
[15] Ibnu Qudamah, Al-Mughni, (Beirut : Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), juz 7, h. 46. Lihat juga Hasan Yusuf Ghazali,
al-Miras ala al-Mazahibul Arba’ah dirasatan watatbikhan, (Ttp: Daar al- Fikr,
2003) hal. 113.
[16]
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fi al-Syariati al-Islamiyyah Ala
al-Mazahibul Arbaah, hal. 172.
[17]
Ibid, hal.173.
[18]
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris
Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 322.
[19]
Ibid, hal. 323
[20]
Ibid, hal. 327.
[21]
Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkamul Mawaris Fissyariatil Islamiyyah Ala
Mazahibul Arbaah, hal. 174.
[22]
Muhammad Syarbini al-Khotib, Mughnil Muhtaj (Mesir: Musthapa al-Baby al-Halaby,
1958) Juz III, hal. 6.
[23]
Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris Fil-Fiqh
Al-Islami, hal. 323,
[24]
Muhamad Ibn Idris al-Syafii, Al-Umm, (Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyah,1993),
juz 4, h.
100.
Ibn Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayah al Maqtashid, (Ttp.: Maktabah al
Kulliyah al azhariyah, 1969), juz II, h. 380.
[25]
Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran (Mesir:Darul Ta’rif, 1957) hal 337.
[26]
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, (Damaskus: Daar al-Fikr, 1989)
hal.358.
[27]
Hasan Ahmad Khotib, al-Fiqh al-Muqaran, hal. 339.
[28]
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan islam Dalam Lingkungan Adat
Minangkabau, (Jakarta : Gunung Agung, 1984), h. 103.
[29]
31 Komite Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Ahkam Al-Mawaris
Fil-Fiqh Al-Islami, hal. 324.
[30]
32 Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Matnul al-Bukhari Bi-Hasiyyatis
al- Sindi, (Berut: Daar ibn al-Hizam, tth) Jilid ke-4, hal. 165.
[31]
Muhamad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, terj. Afif Muhamad,(Jakarta : Basri
Press, 1994), hlm. 357.
[32]
Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris Hukum Kewarisan Islam,
hal.198.
[33]
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Akademika Pressindo, 2007) hal
160.
[34]
Ibid, hal. 108
[35]
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta:
Prenada Media, 2004) hal. 107.
[36] Beni Ahmad Saebani, Fiqh Mawaris,
(Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 216
[37]
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2008),
hlm. 107